Istri-istri Nabi Muhammad SAW :
Khadijah binti khuwailid
Beliau
di juluki Ath-thohirah, yang berarti bersih dan suci. Beliau tumbuh
dalam lingkungan keluarga yang mulia dan pada gilirannya beliau menjadi
seorang wanita yang cerdas dan agung. Beliau dikenal sebagai seorang
yang teguh dan cerdik dan memiliki perangai yang luhur. Karena itulah
banyak laki-laki dari kaumnya menaruh simpati kepadanya.
Setelah bercerai dengan
suami yang pertama, banyak dari para pemuka-pemuka Quraisy yang
menginginkan Beliau untuk dijadikan istri, tetapi, Khadijah lebih
memprioritaskan perhatiannya dalam mendidik putra-putrinya, juga sibuk
mengurusi perniagaan yang kemudian dari hasil usaha yang di kelolanya,
Beliau menjadi seorang yang kaya. Kepandaian dan kejelian Beliau,
kemudian Beliau menawarkan Muhammad yang pada saat itu belumlah diangkat
menjadi Nabi, untuk menjual dagangannya. Kejujuran dan sikap
profesional yang di miliki Muhammad dalam berdagang, membuat kekayaan
Khadijah semakin bertambah banyak.
Khadijah
memiliki wajah yang cantik, berasal dari keturunan yang terhormat,
memiliki martabat karena kepandaian dan kecerdasaanya, dan ia juga
adalah wanita yang kaya raya. Maka tidaklah mengherankan dengan kondisi
yang demikian itu semakin banyak para pemuka Quraisy yang terhormat dan
kaya raya ingin menjadikan Khadijah sebagai istri. Singkat cerita, semua
tawaran tersebut ditolak oleh khadijah, karena hatinya telah tertambat
pada pribadi yang terpercaya, jujur, profesional dalam bekerja, dan
memiliki akhlaq yang mulia, ia adalah Muhammad. Dan Allah mentakdirkan
mereka untuk menikah, walaupun pada waktu itu, umur Khadijah yang telah
sampai di usia 40 Tahun kecantikannya tetap mempesona Muhammad yang
berumur 25 tahun.
Keutamaan Khadijah diriwayatkan sebagaimana sabda Rasulullah saw ;
“Tidaklah
Allah mengganti untukku (istri) yang lebih baik darinya (khadijah). Dia
beriman kepadaku saat orang-orang kufur. Dia mempercayaiku saat
orang-orang mendustaiku. Dia memberikan hartanya kepadaku saat
orang-orang mengharamkan harta untukku. Dan dia memberikan aku anak saat
Allah tidak memberikan anak dari istri-istriku yang lain”.
Khadijah
adalah sosok wanita pilihan yang Allah amanahkan untuk mendampingi
Muhammad dalam menjalani tugasnya sebagai Rasul Allah.
Salah
satu hikmah yang bisa kita petik dari kisah hidup khadijah, adalah
keuletannya, kesungguhannya, kecerdasan dan ketelitiannya dalam
menjalankan usaha perdagangan. Tetapi, semua usahanya itu tidaklah ia
jadikan semata-mata untuk kesenangan yang bersifat keduniawian semata.
Sebagaimana sabda Rasulullah, Khadijah dengan rela memberikan hartanya
untuk kepentingan dakwah Rasulullah. Dan hal itu, Beliau lakukan sampai
ajal menjemputnya.
Apa yang dilakukan oleh khadijah sangat berkaitan erat dengan makna zakat.
Zakat….hanya
diwajibkan bagi mereka yang memiliki kelebihan harta yang telah
memenuhi syarat dan perhitungan yang telah ditetapkan. Artinya, agar
jika seseorang ingin ber-zakat, maka ia harus berusaha. Dan dari apa
yang Allah berikan atas hasil usahanya itulah yang wajib ia keluarkan
zakatnya. Dan bagi seorang istri yang tidak bekerja, maka ia dapat
berzakat apabila ia mendapatkan nafkah yang khusus diberikan oleh
suaminya…
Dengan
demikian, bekerja…adalah termasuk dalam ibadah yang juga bernilai pahala
di sisi Allah. Islam tidak menghalangi kaum wanita untuk produktif
dalam mencari karunia Allah di dunia ini dengan bekerja, bahkan Islam
menganjurkan agar kaum wanita tidak kalah produktifnya dengan kaum pria.
Dan Allah
memberikan pilihan bagi kaum wanita, apakah ia mau memilih sebagai
pekerja, wanita karier, pengusaha, atau sebagai ibu rumah tangga.. Semua
itu sama baiknya.
Selama
ia menjaga kehormatannya, harga dirinya, dan taat pada aturan yang
Allah tetapkan. Apapun pilihannya, Insya Allah akan bernilai pahala.
Dalam kisah Siti Khadijah, Allah telah mengabadikan teladan bagi kaum wanita…,
Khadijah,
adalah wanita yang cerdas, ibu rumah tangga yang amanah, pendidik bagi
anak-anaknya, pengusaha yang sukses, Istri seorang Nabi dan Rasul, dan
pejuang di jalan Allah….
Dan
tidaklah mungkin Allah jadikan khadijah sebagai teladan jika tidak
mungkin untuk di teladani, karena pada dasarnya, kaum wanita…adalah kaum
yang mampu melakukan semua itu…
Wallahu’alam..
Saudah binti Zam’ah r.a.
Saudah binti Zam'ah r.a. mulai masuk kehidupan Rasulullah Saw. setelah Khadijah r.a.
wafat. Yang ingin kami tegaskan di sini adalah Rasulullah Saw. selama
bertahun-tahun tidak pernah sekali pun menikahi perempuan lain selama
beliau hidup bersama Khadijah r.a., baik sebelum maupun sesudah
kenabian. Sementara itu, Rasulullah Saw. saat wafatnya meninggalkan
sembilan istri.
Sebelum berbicara mengenai Saudah r.a., sebaiknya harus diketahui dahulu sekelumit kisah mengenai Khaulah binti Hakim,
yaitu seorang perempuan yang selalu berusaha melindungi keimanannya
kepada Allah Swt. dan kecintaannya kepada Rasulullah Saw. dengan cara
ikut mengurusi urusan-urusan keluarga yang khusus. Dia mempunyai pecan
istimewa dalam rumah tangga Rasulullah Saw.
Khaulah binti Hakim adalah istri Utsman ibn Mazh’un. Suami istri
ini termasuk orang-orang yang pertama menerima dakwah dan memeluk Islam
sehingga keduanya bisa hidup berdampingan. Dia sangat senang menyambung
pertalian dan hubungan dengan orang-orang Muslim yang lain bagaikan
aliran darah sehingga setiap denyut jantung menyenandungkan nyanyian
cinta dari langit.
Khaulah binti Hakim adalah orang yang pernah melihat bagian-bagian wajah Rasulullah Saw.
yang penuh dengan tanda-tanda kesedihan dan kedukaan mendalam, suatu
keadaan yang dapat memengaruhi keadaan mental para sahabat laki-laki
maupun perempuan. Karena jiwanya yang pemberani, dia memberanikan diri
untuk bertanya kepada Rasulullah Saw., “Wahai Rasulullah! Aku melihat engkau seakanakan kehilangan kasih sayang yang mendalam bersamaan dengan wafatnya Khadijah r.a.” Rasulullah Saw.
pun menjawab, “Lebih dari itu, aku sangat kehilangan karena dia
merupakan ibu yang baik bagi keluarga dan seorang pengatur rumah
tangga.”
Khaulah menyadari bahwa rumah tangga Rasulullah Saw.
membutuhkan seseorang yang dapat menutupi kekosongan ini, menutupi celah
yang menganga dalam rumah tangga Rasulullah Saw. dengan sikap penuh
kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Dia melihat berdasarkan pengalaman
dan kedalaman imannya, lalu setelah mempertimbangkan hal-hal yang
bersifat kejiwaan, sosial, dan waktu yang dibutuhkan Rasulullah Saw.,
dia memberanikan diri untuk memberikan tawaran kepada Rasulullah agar
beliau sudi menikah lagi, “Wahai Rasulullah! Engkau menghendaki istri
yang berstatus janda atau gadis?” Kemudian Rasulullah Saw. menanyakan
sosok calon istri yang berstatus janda maupun yang berstatus gadis
tersebut. Khaulah pun menjawab, “Aku mengajukan Saudah sebagai calon
istri yang berstatus janda, sedangkan yang masih berstatus gadis, aku
mengajukan Aisyah binti Abu Bakar, putri dari seseorang yang paling engkau cintai dari kalangan sahabat.”
Barangkali
tujuan Khaulah untuk menawarkan calon istri kepada Rasulullah Saw.
adalah semata-mata agar ada seseorang yang dapat menjaga keberlangsungan
keluarga dan bisa mengatur berbagai urusan dalam rumah tangga Rasulullah Saw.
Menurut Khaulah, sifat-sifat inilah yang ada pada diri Saudah r.a. Pada
diri Aisyah r.a. terdapat sifat-sifat yang dapat menumbuhkan kenyamanan
dalam hati Rasulullah Saw., sekaligus sebagai cara untuk memperkuat
tali kekerabatan antara Rasulullah Saw. dan sahabat terdekatnya, Abu
Bakar Al-Shiddig. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Jika demikian,
ceritakanlah perihalku kepada keduanya, wahai Khaulah!” Khaulah pun
berhasil menyelesaikan kedua perjodohan tersebut secara bersamaan.
Kemudian Rasulullah Saw. membangun rumah tangga dengan Saudah r.a.,
dan pada saat yang bersamaan beliau meminang Aisyah r.a., karena pada
waktu itu usia Aisyah r.a. belum cukup untuk membina rumah tangga.
Setelah Saudah r.a. resmi memasuki rumah tangga Nabi Saw., dia menjadi
Ummul Mukminin yang merawat putri-putri beliau, yaitu Ummu Kultsum dan
Fathimah, sekaligus mengurusi urusan-urusan rumah tangga lainnya, meski
sebelumnya dia hanya seorang janda. Dari segi fisik, Saudah r.a.
adalah perempuan yang sangat hitam kulitnya, gemuk, dan terkesan lemah,
tetapi di sisi lain dia adalah seorang perempuan yang berhati mulia dan
luhur. Dia mempunyai kepribadian yang riang gembira, keberadaannya
dapat menghilangkan kegundahan hati Rasulullah Saw., seakan-akan dia
muncul pada saat yang tepat sebagai obat penawar yang manjur dan
penting.
Pada suatu saat, Saudah r.a. melihat wajah
Rasulullah Saw. dalam keadaan pucat dan berbalut duka. Melihat hal
tersebut, dia berusaha menghibur beliau dengan canda tawa dan senda
gurau dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah! Kemarin aku shalat di
belakangmu, sedangkan engkau melakukan sujud lama sekali sehingga aku
merasa darahku turun ke hidung.” Mendengar gurauan tersebut, Rasulullah
Saw. menjadi tertawa sampai terlihat gigi-gigi gerahamnya sehingga
hilanglah kesedihan yang tergambar dalam wajahnya.
Demikianlah,
hari berganti hari, tahun berganti tahun, kehidupan Rasulullah Saw.
berlangsung bersama Saudah r.a. Dia sangat memahami tempat dan
kedudukannya dalam rumah tangga Rasulullah Saw., berusaha melakoni peran
sebagai Ummul Mukminin, yang merupakan tempat yang paling agung dan
kedudukan yang paling tinggi. Dia tidak mengharapkan hal lain dalam
kehidupan dunianya, apalagi berkaitan dengan jatah giliran yang
diberikan Rasulullah Saw. kepada istri-istrinya yang mulia.
Ketika
Saudah r.a. merasa sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya sebagai
istri, dia menyerahkan haknya, jatah giliran siang dan malam kepada
Aisyah r.a. dengan didasari alasan tertentu. Hal inilah yang kemudian
menjadikan nama Saudah r.a. selalu dicantumkan beriringan dengan Aisyah
r.a. sejak saat itu karena dia adalah kekasih Rasulullah Saw.
Saudah r.a.
adalah figur ahli ibadah dan zuhud, seorang yang jujur dan benar,
selalu mencurahkan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah Swt.,
seperti yang diceritakan oleh Aisyah r.a. Dia diberi usia yang panjang
hingga mengalami zaman pemerintahan Umar ibn Al Khaththab, lalu menutup mata dipanggil menghadap Zat Yang Mahakasih dan Luhur.
Saudah r.a.
telah meninggalkan tanda yang putih bersih dalam mengisi kekosongan
rumah tangga Rasulullah Saw. yang dibina selama kurang lebih tiga belas
tahun. Dia menghabiskan sisa-sisa akhir hidupnya dengan
mengonsentrasikan dirinya dalam mihrab ketakwaan dan ibadah.
Aisyah Binti Abu Bakar r.a
Rasulullah SAW membuka lembaran kehidupan rumah tangganya dengan
Aisyah r.a yang telah banyak dikenal. Ketika wahyu datang pada
Rasulullah SAW, Jibril membawa kabar bahwa Aisyah adalah istrinya
didunia dan diakhirat, sebagaimana diterangkan didalam hadits riwayat
Tirmidzi dari Aisyah r.a,
“Jibril datang membawa gambarnya pada sepotong sutra hijau kepada
Nabi SAW, lalu berkata.’ Ini adalah istrimu didunia dan di akhirat.”
Dialah yang menjadi sebab atas turunnya firman Allah SWT yang
menerangkan kesuciannya dan membebaskannya dari fitnah orang-orang
munafik.
Aisyah dilahirkan empat tahun sesudah Nabi SAW diutus menjadi Rasul.
Semasa kecil dia bermain-main dengan lincah, dan ketika dinikahi
Rasulullah SAW usianya belum genap sepuluh tahun. Dalam sebagian besar
riwayat disebutkan bahwa Rasulullah SAW membiarkannya bermain-main
dengan teman-temannya.
Dua tahun setelah wafatnya Khadijah r.a datang wahyu kepada Nabi SAW
untuk menikahi Aisyah r.a. Setelah itu Nabi SAW berkata kepada Aisyah,
“Aku melihatmu dalam tidurku tiga malam berturut-turut. Malaikat
mendatangiku dengan membawa gambarmu pada selembar sutra seraya
berkata,’ Ini adalah istrimu.’ Ketika aku membuka tabirnya, tampaklah
wajahmu. Kemudian aku berkata kepadanya,’ Jika ini benar dari Allah SWT ,
niscaya akan terlaksana.”
Mendengar kabar itu, Abu Bakar dan istrinya sangat senang, terlebih
lagi ketika Rasulullah SAW setuju menikahi putri mereka, Aisyah. Beliau
mendatangi rumah mereka dan berlangsunglah pertunangan yang penuh berkah
itu. Setelah pertunangan itu, Rasulullah SAW hijrah ke Madinah bersama
para sahabat, sementara istri-istri beliau ditinggalkan di Makkah.
Setelah beliau menetap di Madinah, beliau mengutus orang untuk menjemput
mereka, termasuk didalamnya Aisyah r.a.
Dengan izin Allah SWT menikahlah Aisyah dengan mas kawin 500 dirham.
Aisyah tinggal di kamar yang berdampingan dengan masjid Nabawi. Di kamar
itulah wahyu banyak turun, sehingga kamar itu disebut juga sebagai
tempat turunnya wahyu.
Dihati Rasulullah SAW, kedudukan Aisyah sangat istimewa, dan tidak
dialami oleh istri-istri beliau yang lain. Didalam hadits yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik dikatakan, “Cinta pertama yang terjadi
didalam Islam adalah cintanya Rasulullah SAW kepada Aisyah r.a.”
Didalam riwayat Tirmidzi dikisahkan “Bahwa ada seseorang yang
menghina Aisyah dihadapan Ammar bin Yasir sehingga Ammar berseru
kepadanya,’ Sungguh celaka kamu. Kamu telah menyakiti istri kecintaan
Rasulullah SAW.”
Sekalipun perasaan cemburu istri-istri Rasulullah SAW terhadap Aisyah
sangat besar, mereka tetap menghargai kedudukan Aisyah yang sangat
terhormat. Bahkan ketika Aisyah wafat, Ummu Salamah berkata, ‘Demi Allah
SWT, dia adalah manusia yang paling beliau cintai selain ayahnya (Abu
Bakar)’.
Di antara istri-istri Rasulullah SAW, Saudah bin Zum`ah sangat
memahami keutamaan-keutamaan Aisyah, sehingga dia merelakan seluruh
malam bagiannya untuk Aisyah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Aisyah sangat memperhatikan
sesuatu yang menjadikan Rasulullah SAW rela. Dia menjaga agar jangan
sampai beliau menemukan sesuatu yang tidak menyenangkan darinya. Karena
itu, salah satunya, dia senantiasa mengenakan pakaian yang bagus dan
selalu berhias untuk Rasulullah SAW.
Menjelang wafat, Rasulullah SAW meminta izin kepada istri-istrinya
untuk beristirahat dirumah Aisyah selama sakitnya hingga wafat. Dalam
hal ini Aisyah berkata, “Merupakan kenikmatan bagiku karena Rasulullah
SAW wafat dipangkuanku.”
Bagi Aisyah, menetapnya Rasulullah SAW selama sakit dikamarnya
merupakan kehormatan yang sangat besar karena dia dapat merawat beliau
hingga akhir hayat. Rasulullah SAW dikuburkan dikamar Aisyah, tepat
ditempat beliau meninggal.
Sementara itu, dalam tidurnya, Aisyah melihat tiga buah bulan jatuh
ke kamarnya. Ketika dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, Abu Bakar
berkata, “Jika yang engkau lihat itu benar, maka dirumahmu akan
dikuburkan tiga orang yang paling mulia dimuka bumi.”
Ketika Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar berkata, “Beliau adalah orang
yang paling mulia diantara ketiga bulanmu.” Ternyata Abu Bakar dan Umar
dikubur dirumah Aisyah.
Setelah Rasulullah SAW wafat, Aisyah senantiasa dihadapkan pada
cobaan yang sangat berat, namun dia menghadapinya dengan hati yang
sabar, penuh kerelaan terhadap taqdir Allah SWT dan selalu berdiam diri
didalam rumah semata-mata untuk taat kepada Allah SWT.
Rumah Aisyah senantiasa dikunjungi orang-orang dari segala penjuru
untuk menimba ilmu atau untuk berziarah kemakam Nabi SAW. Ketika
istri-istri Nabi SAW hendak mengutus Ustman menghadap khalifah Abu Bakar
untuk menanyakan harta warisan Nabi SAW yang merupakan bagian mereka,
Aisyah justru berkata, “Bukankah Rasulullah SAW telah berkata, ‘Kami
para nabi tidak meninggalkan harta warisan. Apa yang kami tinggalkan itu
adalah sedekah.”
Dalam penetapan hukum pun, Aisyah kerap langsung menemui
wanita-wanita yang melanggar syariat Islam. Didalam Thabaqat, Ibnu Saad
mengatakan bahwa Hafshah binti Abdirrahman menemui Ummul Mukminin Aisyah
r.a. Ketika itu Hafshah mengenakan kerudung tipis. Secepat kilat Aisyah
menarik kerudung tersebut dan menggantinya dengan kerudung yang tebal.
Aisyah tidak pernah mempermudah hukum kecuali jika sudah jelas
dalilnya dari Al Qur`an dan Sunnah. Aisyah adalah orang yang paling
dekat dengan Rasulullah SAW sehingga banyak menyaksikan turunnya wahyu
kepada beliau. Aisyah pun memiliki kesempatan untuk bertanya langsung
kepada Rasulullah SAW jika menemukan sesuatu yang belum dia pahami
tentang suatu ayat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ia memperoleh
ilmu langsung dari Rasulullah SAW.
Aisyah termasuk wanita yang banyak menghapalkan hadits-hadits Nabi
SAW, sehingga para ahli hadits menempatkan dia pada urutan kelima dari
para penghapal hadits setelah Abu Hurairah, Ibnu Umar, Anas bin Malik
dan Ibnu Abbas.
Dalam hidupnya yang penuh dengan jihad, Sayyidah Aisyah wafat pada
usia 66 th, bertepatan dengan bulan Ramadhan,th ke-58 H, dan dikuburkan
di Baqi`.
Kehidupan Aisyah penuh dengan kemuliaan, kezuhudan, ketawadhuan,
pengabdian sepenuhnya kepada Rasulullah SAW, selalu beribadah serta
senantiasa melaksanakan shalat malam. Selain itu, Aisyah banyak
mengeluarkan sedekah sehingga didalam rumahnya tidak akan ditemukan uang
satu dirham atau satu dinar pun. Dimana sabda Rasul, “Berjaga dirilah
engkau dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma.” (HR. Ahmad).
Hafsah binti Umar bin Khatab
Beliau adalah Hafsah putri dari Umar bin Khathab, seorang shahabat
agung yang melalui perantara beliau-lah Islam memiliki wibawa. Hafshah
adalah seorang wanita yang masih muda dan berparas cantik, bertaqwa dan
wanita yang disegani.
Pada mulanya beliau dinikahi salah seorang shahabat yang mulia
bernama Khunais bin Khudzafah bin Qais As-Sahmi Al-Quraisy yang pernah
berhijrah dua kali, ikut dalam perang Badar dan perang Uhud namun
setelah itu beliau wafat di negeri hijrah karena sakit yang beliau alami
waktu perang Uhud. Beliau meninggalkan seorang janda yang masih muda
dan bertaqwa yakni Hafshah yang ketika itu masih berumur 18 tahun.
Umar benar-benar merasakan gelisah dengan adanya keadaan putrinya yang
menjanda dalam keadaan masih muda dan beliau masih merasakan kesedihan
dengan wafatnya menantunya yang dia adalah seorang muhajir dan mujahid.
Beliau mulai merasakan kesedihan setiap kali masuk rumah melihat
putrinya dalam keadaan berduka. Setelah berfikir panjang maka Umar
berkesimpulan untuk mencarikan suami untuk putrinya sehingga dia dapat
bergaul dengannya dan agar kebahagiaan yang telah hilang tatkala dia
menjadi seorang istri selama kurang lebih enam bulan dapat kembali.
Akhirnya pilihan Umar jatuh pada Abu Bakar Ash Shidiq radhiallaahu
‘anhu orang yang paling dicintai Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam karena Abu Bakar dengan sifat tenggang rasa dan kelembutannya
dapat diharapkan membimbing Hafshah yang mewarisi watak bapaknya yakni
bersemangat tinggi dan berwatak tegas. Maka segeralah Umar menemui Abu
Bakar dan menceritakan perihal Hafshah berserta ujian yang menimpa
dirinya yakni berstatus janda. Sedangkan ash-Shiddiq memperhatikan
dengan rasa iba dan belas kasihan. Kemudian barulah Umar menawari Abu
Bakar agar mau memperistri putrinya. Dalam hatinya dia tidak ragu bahwa
Abu Bakar mau menerima seorang yang masih muda dan bertaqwa, putri dari
seorang laki-laki yang dijadikan oleh Allah penyebab untuk menguatkan
Islam. Namun ternyata Abu Bakar tidak menjawab apa-apa. Maka
berpalinglah Umar dengan membawa kekecewaan hatinya yang hampir-hampir
dia tidak percaya (dengan sikap Abu Bakar). Kemudian dia melangkahkan
kakinya menuju rumah Utsman bin Affan yang mana ketika itu istri beliau
yang bernama Ruqqayah binti Rasulullah telah wafat karena sakit yang
dideritanya.
Umar menceritakan perihal putrinya kepada Utsman dan menawari agar
mau menikahi putrinya, namun beliau menjawab: “Aku belum ingin menikah
saat ini”. Semakin bertambahlah kesedihan Umar atas penolakan Utsman
tersebut setelah ditolak oleh Abu Bakar. Dan beliau merasa malu untuk
bertemu dengan salah seorang dari kedua shahabatnya tersebut padahal
mereka berdua adalah kawan karibnya dan teman kepercayaannya yang faham
betul tentang kedudukannya. Kemudian beliau menghadap Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadukan keadaan dan sikap Abu
Bakar maupun Utsman. Maka tersenyumlah Rasulllah Shallallaahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata:
“Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik dari Abu Bakar dan
Utsman sedangkan Ustman akan menikahi wanita yang lebih baik daripada
Hafshah (yaitu putri beliau Ummu Kultsum radhiallaahu ‘anha-red)”
Wajah Umar bin Khathab berseri-seri karena kemuliaan yang agung ini
yang mana belum pernah terlintas dalam angan-angannya. Hilanglah segala
kesusahan hatinya, maka dengan segera dia menyampaikan kabar gembira
tersebut kepada setiap orang yang dicintainya sedangkan Abu Bakar adalah
orang yang pertama kali beliau temui. Maka tatkala Abu Bakar melihat
Umar dalam keadaan gembira dan suka cita maka beliau mengucapkan selamat
kepada Umar dan meminta maaf kepada Umar sambil berkata “janganlah
engkau marah kepadaku wahai Umar karena aku telah mendengar Rasulullah
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut-nyebut Hafshah. Hanya saja aku
tidak ingin membuka rahasia Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam;
seandainya beliau menolak Hafshah maka pastilah aku akan menikahinya.
Maka Madinah mendapat barokah dengan indahnya pernikahan Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan Hafshah binti Umar pada bulan
Sya’ban tahun ketiga Hijriyah. Begitu pula barokah dari pernikahan
Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum binti Muhammad Shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pada bulan Jumadil Akhir tahun ketiga Hijriyah juga.
Begitulah, Hafshah bergabung dengan istri-istri Rasulullah dan
Ummahatul mukminin yang suci. Di dalam rumah tangga Nubuwwah ada istri
selain beliau yakni Saudah dan Aisyah. Maka tatkala ada kecemburuan
beliau mendekati Aisyah karena dia lebih pantas dan lebih layak untuk
cemburu. Beliau senantiasa mendekati dan mengalah dengan Aisyah
mengikuti pesan bapaknya (Umar) yang berkata: “Betapa kerdilnya engkau
bila dibanding dengan Aisyah dan betapa kerdilnya ayahmu ini apabila
dibandingkan dengan ayahnya”.
Hafshah dan Aisyah pernah menyusahkan Nabi, maka turunlah ayat :”Jika
kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua
telah condong untuk menerima kebaikan dan jika kamu berdua bantu
membantu menyusahkan Nabi,maka sesungguhnya Allah adalah pelindungnya
dan (begitu pula) Jibril” (Q.S. at-Tahrim: 4).
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
mentalak sekali untuk Hafshah tatkala Hafshah dianggap menyusahkan Nabi
namun beliau rujuk kembali dengan perintah yang dibawa oleh Jibril
‘alaihissalam yang mana dia berkata:
“Dia adalah seorang wanita yang rajin shaum, rajin shalat dan dia adalah istrimu di surga”.
Hafshah pernah merasa bersalah karena menyebabkan kesusahan dan
penderitaan Nabi dengan menyebarkan rahasianya namun akhirnya menjadi
tenang setelah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam memaafkan
beliau. Kemudian Hafshah hidup bersama Nabi dengan hubungan yang
harmonis sebagai seorang istri bersama suaminya. Manakala Rasul yang
mulia menghadap ar-Rafiiq al-A’la dan Khalifah dipegang oleh Abu Bakar
ash-Shiddiq, maka Hafshah- lah yang dipercaya diantara Ummahatul
Mukminin termasuk Aisyah didalamnya, untuk menjaga mushaf Al-Qur’an yang
pertama.
Hafshah radhiallaahu ‘anha mengisi hidupnya sebagai seorang ahli
ibadah dan ta’at kepada Allah, rajin shaum dan juga shalat, satu-satunya
orang yang dipercaya untuk menjaga keamanan dari undang-undang umat
ini, dan kitabnya yang paling utama yang sebagai mukjizat yang kekal,
sumber hukum yang lurus dan ‘aqidahnya yang utuh.
Ketika ayah beliau yang ketika itu adalah Amirul mukminin merasakan
dekatnya ajal setelah ditikam oleh Abu Lu’lu’ah seorang Majusi pada
bulan Dzulhijjah tahun 13 hijriyah, maka Hafshah adalah putri beliau
yang mendapat wasiat yang beliau tinggalkan.
Hafshah wafat pada masa Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiallaahu ‘anhu
setelah memberikan wasiat kepada saudaranya yang bernama Abdullah dengan
wasiat yang diwasiatkan oleh ayahnya radhiallaahu ‘anhu. Semoga Allah
meridhai beliau karena beliau telah menjaga al-Qur’an al- Karim, dan
beliau adalah wanita yang disebut Jibril sebagai Shawwamah dan Qawwamah
(Wanita yang rajin shaum dan shalat) dan bahwa beliau adalah istri Nabi
Shallallaahu ‘alaihi wa sallam di surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar